Semangat sekali ketika mendapatkan izin bersepeda ke Yogyakarta. Tentu saja karena ini bagian dari hasil konsensus dengan mengajak keluarga berlibur sebelumnya.

Bersepeda dari Bogor hingga Yogyakarta merupakan salah satu bucket list diakhir tahun kemarin yang baru kesampaian di awal Februari tahun ini. Resiko perjalanan hujan sudah pasti, namun rasa penasaran dan ketertarikan touring menghalalkan segalanya. Kesiapan sepeda, perencanaan rute dan logistik sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, namun tetap saja malam sebelum berangkat masih saja bergadang untuk memastikan kesiapan perjalanan lancar dengan segala tantangannya.

Perjalanan kali ini tidak sendiri, namun dalam group yang sebelumnya pendaftar belasan orang dan berujung 6 goweser yang konfirmasi hingga hari keberangkatan dengan berbagai isu para pekerja pada umumnya.  Start dari Tugu Kujang jam 6 pagi, Jumat 3 Februari 2023 dengan disambut gerimis dipagi hari, 5 orang peseda dengan tipe tungganga yang berbeda memulai rolling pertamanya menuju Tugu Yogya dengan Jarak sekitar 530km dalam 3 hari. Dalam perjalanan ke puncak kami ditemani 2 goweser lainnya yang mengantarkan petualangan kami.

Saya dengan Gravel bike, Bli Soplog dengan RB, Ko Roni dengan Seli, Om Doyok MTB, Om Fery dengan Ebike dan peserta terakhir yang sudah menunggu di Gunung mas, om Dayat dengan Hybrid bike nya. Lengkap berenam kami mulai menanjak kembali menembus kabut yang mulai menebal dan berangin dikawasan puncak. Udara dirasakan sejuk, mungkin karena kami terus bergerak. Jika tidak bisa tergolong dingin sebenarnya. Kawan kami dengan Ebike sudah di Mang Ade jauh sebelumnya, dengan Ebike tentu sangat membantu putaran rodanya, namun perlu management baterai yang perlu dikelola sebagai strategi om Fery memastikan perjalanan jauh cukup tiap segmennya. Untuk kami, modal isi perut dan lemak yang perlu dibakar untuk menjadi energi dalam melintasi elevasi gunung pertama yang kami lalui.

Setelah berkumpul di Mang Ade sebagai puncak tertinggi dikawasan ini, kami meluncur turun, segmen ini memang yang paling saya sukai, tidak perlu mengayuh, namun perlu kesiapan pengereman dan memilih posisi dan jalan yang tepat. Turunan panjang Ciloto dan Tapak kuda kelokannya menggoda untuk menaikan angka kecepatan tanpa kayuhan. Saving energi yang banyak hingga Kota Cianjur karena masih ada tanjakan berikutnya yang menanti.

Ditengah hari kami ibadah jumatan terlebih dahulu sekaligus carbo loading yang kesekian diluar kopi dan teh disepanjang jalannya ya. Kami pun melanjuti tanjakan pasca Jembatan Rajamandala mulai dari cipatat, Citatah menuju Padalarang. Elevasi tidak ada separuhnya jalur Puncak, namun karakternya berbeda. Ditemani truk batu kapur, debu, kemacetan yang sebenarnya membuat Lelah perjalanan area ini.

Sebelum memasuki Cimahi dan Kota Bandung. Saya menikmati dawet manis dengan parutan es melebihi gelasnya di Situ Ciburuy, sembari menunggu teman lainnya. Kami menyadari bahwa Om Hidayat tertinggal cukup jauh, terpaksa kami tinggal karena butiran air dari langit mulai membasahi kami. Khawatir kehujanan, kami pun melaju di Cimahi, dan menembus kota Bandung. Kata yang tepat untuk melewati Bandung di Jumat Sore. Menembus kemacetan yang luar biasa. Dari Jalan rajawali hingga jl Soekarno Hatta, kami berulang-ulang terpaksa berjalan di trotoar sangking padat merayapnya kendaraan di hari ini.

Cibiru hingga Simpangan Cileunyi pun tak kalah rusuhnya, macet luar biasa dan berakhir dengan nasi padang menggunung di pinggir Jalan Rancaekek. Suara Adzan sudah berkumandang dikala kami mengisi perut dan Om Hidayat pun belum tiba. Kami khawatir dengan jarak yang terpaut jauh. Beliau baru memasuki Situ Ciburuy. Kami tinggalkan kembali karena ingin memastikan dapat penginapan dijalur Nagreg kea rah Malangbong.

Ketiga kalinya dihari ini kami melalui rute menanjak. Terus menanjak dengan bantuan lampu sepeda, 5 orang beriringan dan dapat tiba di Nagreg sekitar jam 7 malam. Deretan restoran dan penginapan tidak berhasil menggoda kami untuk singgah, kami pun terus maju hingga melewati portal simpangan kereta api selatan. Rute berikutnya menurun tajam khas Nagreg hingga Garut.

Tidak banyak penginapan didaerah ini, sebelumnya kami menargetkan menginap di Asep Strawbery, namun malam ini kurang beruntung karena dalam tahap renovasi. Bermodal google, kami pun mencari penginapan secara random untuk sekedar menambatkan sepeda dan rebahan yang layak. 3km dari resto tersebut kami tiba di Wisma Al-Mahdiyyin. Rest area di jalan raya Limbangan yang lengkap dengan Masjid yang besar, food court dan penginapannya.

Sembari unpacking barang, ada yang sedang sibuk video call untuk lapor keluarga, membuat konten, mengantri mandi, hingga sibuk mengecharge sepeda sembari bergurau bahwa kami beruntung mendapatkan penginapan yang layak dan murah yang diisi berlima dalam 1 kamar.  1 Member yang tertinggal akhirnya menginap di Cibiru bandung, sedangkan kami sibuk rebutan posisi Kasur yang nyaman buat versi kami.

Di Etape 1 ini setidaknya versi cyclocomp diriku mencapai 175 km dengan EG hampir 2500 m. Petualangan hari pertama sangat menarik, menghitung berapa kali melipir untuk kuliner, berkonten ria, sekedar menunggu kawannya di lokasi yang layak untuk ngecharge sepeda. Perlahan saya mulai   memahami phase dan style masing-masing pesepeda dengan segala ketertarikannya.

Kami punya versi senang masing-masing, speed bukan segalanya yang pasti titik kumpul dan menginap harus tetap bersama. Punya target yang sama, namun disii dengan cara yang berbeda dengan versi masing-masing. Hari pertama yang menarik.

Video Perjalanan Bogor – Yogyakarta Hari 1 dan 2